Hampir setiap hari media massa lokal maupun
nasional berbicara tentang topik amoral yang dilakukan oleh
ummat Islam, tak ketinggalan di Aceh Topik yang hampir sama terus terus
terjadi. Temanya tak beranjak dari masalah pencabulan, pelecehan,
pemerkosaan, dan perampokan. Media massa menulis judul dengan huruf-huruf
tentang amoral seperti; Pencabulan terhadap seorang gadis kecil oleh tukang
becak, seorang gadis diperkosa oleh tiga orang pemuda sebaya, seorang gadis
dibunuh setelah sebelumnya diperkosa, seorang ayah mencabuli anak kandung
sendiri sampai hamil, ayah dan anak mencabuli seorang gadis, anak meniduri ibu
kandungnya, seorang paman mengerayami keponakan sendiri, seorang ibu muda
membuang anaknya setelah dilahirkan karena hasil hubungan gelap, dan masih
banyak hal-hal sama menghiasi halaman demi halaman media massa setiap harinya.
Belum lagi kasus khalwat hampir tiap jam terjadi. Pelakunya mulai dari pejabat
yang segoyagianya menjadi panutan masyarakat, penegak hukum, pengawas syari’at,
mahasiswa, tukang bangunan, tukang becak sampai kelas rakyat biasa.
Jika
menilik berbagai kejadian yang terjadi selama ini, dalam benak penulis timbul
suatu pertanyaan? Apakah manusia sudah berubah menjadi lebih jahat dari
binatang atau sifat kebinatangan yang ada pada manusia lebih menonjol? Perlu kita ketahui bersama bahwa
sebinatang-binatangnya hewan tidak pernah tega membunuh anaknya sendiri,
berbagai cara akan dilakukan untuk melindungi anak keturunannya. Lihatlah
bagaimana sifat ayam melindungi anaknya
yang masih kecil. Dia akan mencakar siapa saja yang berani menyentuh anak-anak
kecilnya, walaupun nyawa harus melayang.
Harimau akan mengaum dengan kerasnya apabila ada musuh yang mencoba mengganggu
anaknya. Ada juga sekelompok binatang yang akan menjaga induk betinanya dengan
telaten ketika sibetina melahirkan atau menyusui.
Seharusnya manusia berpikir dan mencontoh apa yang
dilakukan para binatang untuk melindungi anak-anaknya dari musuh. Bukan malah orangtuanya sendiri
menjadi musuh bagi anak-anaknya. Orang-orang yang paling bertanggungjawab
menjaga kelansungan hidup malah berubah menjadi malaikat pencabut nyawa.
Kemorosotan moral yang terjadi hari ini, menjadi
suatu bencana dalam kehidupan ummat manusia. Moral manusia sudah lebih rendah
dari kelakukan binatang. Akal yang diberikan oleh Allah untuk berpikir dan
menjadi pembeda manusia dengan binatang, sepertinya tidak berfungsi lagi.
Fenomena seperti yang tersebut diatas menjadi acuan bahwa manusia tidak lagi
menggunakan akal sehat lagi dalam menjalani kehidupan.
Dekadensi moral dimasyarakat kita, mempunyai
benang merah antara kemerosatan moral dengan pendidikan agama. Rendahnya
pengetahuan agama menyebabkan seseorang tidak segan-segan untuk melakukan
sesuatu yang melanggar, malah kadang berbuat yang dilarang menjadi suatu
kebanggaan tersendiri. Lihat para pelaku
ketika tertangkap basah sedang bermaksiat, malah si pelaku senyam
senyum kepada orang yang melihatnya.
Bahkan tak pernah kapok, ketika dilepaskan dari suatu hukuman akan melakukan pelanggaran yang sama. Sungguh suatu ironi.
Berbagai kejadian yang memalukan yang telah
terjadi saban hari, hendaklah menjadi semacam pelajaran bagi kita bersama untuk
menginstropeksi diri. Khususnya para orangtua. Anak-anak yang dilahirkan kemuka
bumi ini dalam keadaan bak kertas putih, sebagaimana firman Allah” yang membuat anak menjadi nasrani dan yahudi
adalah kedua orang tuanya”.
Anak-anak
terbentuk sesuai dengan pendidikan yang diberikan oleh orangtuanya.
Sejak dalam kandungan anak-anak sudah diberikan pendidikan, secara tak lansung.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa kebiasaan seorang ibu ketika mengandung akan terbawa pada anak yang
dikandungnya ketika anak tersebut besar. Jika seorang ibu suka melakukan perbuatan yang kurang baik, maka akan
lahirlah generasi yang sulit diurus dikemudian hari. Orangtua menjadi suri
teladan bagi anak-anaknya. Anak- anak akan belajar dari pengalaman bagaimana
pendidikan yang didapatkan dari orangtuanya atau lingkungannya, sebagaimana
kata-kata bijak mengatakan:
“ jika anak hidup dengan kritikan, dia akan belajar mengutuk
Jika anak hidup dengan cemoohan, dia akan belajar untuk malu
Jika anak hidup dengan permusuhan, dia belajar berkelahi
Jika anak hidup dengan malu, dia akan belajar untuk merasa bersalah
Jika anak hidup dengan toleransi, dia belajar untuk sabar
Jika anak hidup dengan dorongan, dia belajar untuk percaya diri
Jika anak hidup denga pujian, dia belajar untuk menghargai
Jika anak hidup dengan kejujuran, dia belajar untuk adil
Jika anak hidup dengan rasa aman, dia belajar untuk yakin
Jika anak hidup dengan persetujuan,
dia belajar menyukai diri sendiri
Jika anak hidup dengan penerimaan dan persahabatan, dia belajar untuk
menemukan cinta.
Dari kata bijak tersebut mungkin bisa menjadi pola
dalam mendidik generasi bangsa yang handal dan bermoral Islami. Orang tua akan
menjadi tolak ukur bagaimana melihat sifat seorang anak. Sebuah peribahasa
mengatakan bahwa: “jika Orang tua kencing sambil berdiri maka anak akan kencing
sambil berlari”.
Kita kembali pada persoalan diatas bahwa kemerosotan
yang terjadi ditengah masyarakat karena dilatarbelakangi beberapa factor antara
lain: kurangnya pendidikan agama dan tipisnya iman yang dimiliki sehingga seorang berani melakukan berbagai hal yang bertentangan dengan moral. Tindakan
tersebut terjadi dipicu oleh pengaruh lingkungan dan terbukanya peluang didepan
mata. Mengutip bung napi:: kejahatan terjadi bukan karena adanya niat
tapi karena adanya kesempatan, waspadalah-waspadalah.
Oleh karena itu, sudah saatnya kita kembali
memperkokoh iman kepada Allah. Memberikan pendidikan agama sejak dini kepada
anak-anak, menjaga pergaulan antara laki-laki dan perempuan sesuai dengan
karidor syar’i yang telah digariskan syari’at. Dengan kata lain, setiap pribadi
menginstropeksi diri dalam menjalani kehidupan ini, dan menjalani kehidupan
sesuai dengan tuntunan al-qur;an dan hadist nabi yang telah diwariskan kepada
kita semua. Jika hidup sesuai dengan perintah dan larangan Allah, Insyaallah
akan selamat dunia akhirat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahka komentar dengan bahasa yang santun