Senin, 25 Maret 2013

CUT NYAK DHIEN SANG INSPIRATOR GERAKAN PEREMPUAN ACEH




Cut Nyak Dhien hampir satu abad meninggal. Semangat dan simbol perjuangan masih melekat erat dihati rakyat. Pakaiannya menjadi pakaian adat masyarakat Aceh. Dengan sanggul menjulang tinggi di atas kepala, pakai celana panjang  dengan menggunakan kain sarung diatasnya sebatas lutut dan baju khas yang menutupi
sampai keleher (mirip kerah baju orang cina atau kerah sanghai). Rumahnya juga masih tetap terawat dengan baik. Rumah tersebut menjadi warisan budaya bersejarah dan dilestarikan. Banyak wisatawan domestik dan asing yang berkunjung ketempatnya untuk mengenang sang pahlawan atau sekedar menikmati keindahan budaya Aceh.

 Masa hidupnya  digunakan sepenuhnya untuk berjuang. Baik ketika masih di dampingi oleh suaminya maupun  sesudah menjadi janda tak sedikitpun membuat semangatnya menjadi kendur.

Kehidupannya memukau banyak kalangan akibat prinsip-prinsip luhur yang dianut dan dilaksanakan dalam kesehariannya. Sejarah mencatat, dia bukan saja isteri seorang pejuang hebat, tapi perempuan yang dengan heroik memimpin gerilya. Mengatur taktik dan strategi serta melancarkan perlawanan ke berbagai kancah perang. Cut Nyak Dhien rela meninggalkan kenyamanan rumahnya. Dia memilih memanggul senjata, menyusuri kawasan hutan-hutan lebat di pedalaman Aceh.

Perempuan kelahiran Lampadang tahun 1848 ini, berjuang tidak hanya mengangkat senjata melawan penjajahan. Tetapi juga berperang  dalam pertempuran lain yakni perlawanan  terhadap penjajahan kebodohan. Dalam sebuah sumber disebutkan bahwa  “ketika  Cut Nyak Dhien ditangkap  oleh Belanda dan di asingkan ke Sumedang dalam keadaan mata yang rabun dan tubuh yang kurang sehat. Belanda menitipkan beliau kepada bupati Sumedang Pangeran Aria Suriaatmaja yang digelari pangeran Makkah. Bupati yang baik hati ini tidak menempatkan Cut Nnyak Dhien di penjara tetapi  di rumah tokoh adat setempat karena melihat  perempuan ini taat beragama.

Sebagai tahanan politik, Cut Nyak Dhien jarang keluar rumah. Kegiatannya hanya berzikir dan beribadah kepada Allah SWT. Disamping itu juga ia mengajar mengaji  kepada ibu-ibu dan anak-anak setempat  yang datang  mengunjunginya kerumah. Walaupun matanya  rabun, beliau masih bisa tetap mengajar  karena banyak menghafal al-Qur’an.

Disamping  itu, ketika masih aktif berjuang di hutan belantara. Dia tetap tidak melupakan perannya sebagai ibu bagi anaknya. Sejak kecil anaknya diajarkan pendidikan agama , sekaligus juga ditanamkan semangat perjuangan membela tanah air.
Menurutnya pendidikan sangat penting diajarkan sejak dini. Pendidikan harus mulai dari dalam ayunan, sehingga ia sering meninabobokan anaknya dalam ayunan sambil menyanyikan: “Dokuda idang - dokuda idang, Geulayang blang putoh taloe –rayeuk aneuk banta sedang, Jak tulong prang bela nanggroe, Rayeuk sinyak banta seudang jak prang sabil bela agama.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia: Timang –timang sianak sayang /Layang-layang putus diatas tanah lapang/Kelak anakku tumbuh jadi remaja/Meski ikut perang membela negara/Kelak manisku menjadi dewasa/Terus perang sambil membela agama”  {Hastini:1984}.

Perempuan yang mendapat gelar ibu perbu  (ratu) dari masayarakat Sumedang terus berjuang sampai titik darah penghabisan  baik secara lansung mengangkat senjata dan mengobarkan semangat perjuangan maupun berjuang melawan kebodohan.


Cut Nyak Dhien  Modern
Konflik bersenjata dan bencana  tsunami, perekonomian Aceh mengalami pukulan telak. Dalam kondisi terpuruk itu, kaum perempuan justru tampil sebagai motor kebangkitan. Mereka aktif mengembangkan berbagai usaha.

Perempuan Aceh memang mengagumkan. Mereka bukan hanya bekerja keras mengurus rumah tangga. Banyak kaum perempuan bekerja sebagai pencari nafkah utama. Mereka mencangkul di sawah atau di ladang.Peran perempuan akhirnya menjadi sangat dominan dalam banyak rumah tangga di Aceh. Tak bisa dipungkiri, nyaris seluruh urusan rumah tangga dipegang perempuan.

Perempuan Aceh merupakan ujung tombak perubahan di berbagai bidang. Saat ini, perempuan berperan besar dalam perubahan Aceh ke arah yang positif. Bahkan sejak dulu, orang mengagumi sosok Cut Nyak Dhien, panglima perang Aceh yang gagah berani. Ketegaran perempuan Aceh itu telah memberi inspirasi perempuan Aceh di zaman modern untuk membangun Aceh dari keterpurukan.

Hari ini kita menyaksikan hampir semua perempuan Aceh berpendidikan. Sarjana terus bermunculan setiap tahun. Di setiap bangku pendidikan mulai sekolah dasar sampai Perguruan Tinggi jumlah perempuan yang belajar selalu lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah laki-laki. Terkecuali ditempat-tempat pendidikan tertentu yang diperuntukkan khusus untuk laki-laki.

Mareka dengan berbagai keahlian terus berkarya. Ada yang duduk  di Legislatif. Jadi eksekutif. Dokter, juru rawat, pengajar, anggota keamanan, pegiat LSM, penjual, desainer, arsitek, kontraktor, wartawan, seniman, akuntan, pengacara, pilot dan masih banyak profesi lainnya yang digeluti para kaum perempuan modern.  Hal ini membuktikan bahwa perempuan-perempuan Aceh semakin sadar akan pentingnya pendidikan.

Ada sebagian kecil perempuan mungkin tidak berpendidikan tinggi dan belum  mampu berkarya. Tapi mareka yang sudah mampu  dan mempunyai keahlian tidak menutup mata. Dengan mengusung nama Lembaga Swadya Masyarakat, mareka terus memberdayakan  kaumnya untuk maju dan berkarya. Bahkan setelah Tsunami 2004 cukup banyak muncul lembaga-lembaga yang khusus bergerak dibidang pembedayaan perempuan dan anak-anak. Semisal, MISPI, Solidaritas Perempuan, Flower Aceh, Fatayat NU, Serikat Inong Aceh, Matahari, dan masih banyak nama lainnya.

Pemerintah Aceh juga melakukan pemberdayaan dan pembinaan perempuan  dengan sungguh-sungguh, hal ini dibuktikan dengan pembentukan badan khusus yang menangani bidang pemberdayaan perempuan dan anak-anak.  Badan ini sebelumnya hanyalah sebuah bagian (biro) di kantor Sekretariat Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dan nilai plusnya lagi, lansung ditangani oleh seorang perempuan sebagai kepala badan. Jika yang menangani tentang perempuan itu orang perempuan  sendiri, tentunya besar kemungkinan lebih tepat sasaran. Walaupun tak tertutup kemungkinan lelaki akan berbuat hal yang sama tatapi lebih afdhal perempuan sendiri yang menangani bidangnya.

Kesungguhan pembinaan yang dilakukan di seluruh Aceh telah menghasilkan berbagai karya terbaik, khususnya dibidang kerajinan tangan. Perempuan – perempuan kita sudah mampu berdikari. Karya-karya perempuan Aceh sudah dikenal di tingkat Nasional. Tidak jarang juga mareka diundang keluar negeri untuk memamerkan hasil karya. Sebagai contoh, di desa Nusa  Lhoknga Aceh Besar. Perempuan- perempuan disana mengolah sampah menjadi  tas tangan, topi, pas bunga dan sebagainya. Bagi sebagian  orang sampah  akan tetap menjadi barang tak berharga yang harus dibuang  tapi bagi perempuan Nusa sampah disulap menjadi barang menarik dan berharga.

Kemandirian dan keberhasilan yang sudah mendapat penghargaan terhadap kita kaum perempuan harus dijaga dan dipertahankan. Jadilah perempuan-perempuan Aceh tangguh. Cut Nyak Dhien boleh saja telah lama meninggal dunia, perjuangan dan kepribadiannya akan terus menjadi inspirasi bagi kita. Sekarang kitalah yang menjadi Cut Nyak Dhien Modern yang disegani dan dihormati  oleh semua pihak. Semoga. Wallahu’aklam bissaawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahka komentar dengan bahasa yang santun