Cut Nyak Dhien hampir satu abad meninggal. Semangat dan simbol perjuangan
masih melekat erat dihati rakyat. Pakaiannya menjadi pakaian adat masyarakat
Aceh. Dengan sanggul menjulang tinggi di atas kepala, pakai celana panjang dengan menggunakan kain sarung diatasnya
sebatas lutut dan baju khas yang menutupi
sampai keleher (mirip kerah baju
orang cina atau kerah sanghai). Rumahnya juga masih tetap terawat dengan baik.
Rumah tersebut menjadi warisan budaya bersejarah dan dilestarikan. Banyak
wisatawan domestik dan asing yang berkunjung ketempatnya untuk mengenang sang
pahlawan atau sekedar menikmati keindahan budaya Aceh.
Masa hidupnya digunakan sepenuhnya untuk berjuang. Baik
ketika masih di dampingi oleh suaminya maupun
sesudah menjadi janda tak sedikitpun membuat semangatnya menjadi kendur.
Kehidupannya memukau banyak
kalangan akibat prinsip-prinsip luhur yang dianut dan dilaksanakan dalam
kesehariannya. Sejarah mencatat, dia bukan saja isteri seorang pejuang hebat,
tapi perempuan yang dengan heroik memimpin gerilya. Mengatur taktik dan
strategi serta melancarkan perlawanan ke berbagai kancah perang. Cut Nyak Dhien
rela meninggalkan kenyamanan rumahnya. Dia memilih memanggul senjata, menyusuri
kawasan hutan-hutan lebat di pedalaman Aceh.
Perempuan kelahiran Lampadang tahun 1848 ini, berjuang tidak hanya
mengangkat senjata melawan penjajahan. Tetapi juga berperang dalam pertempuran lain yakni perlawanan terhadap penjajahan kebodohan. Dalam sebuah
sumber disebutkan bahwa “ketika Cut Nyak Dhien ditangkap oleh Belanda dan di asingkan ke Sumedang
dalam keadaan mata yang rabun dan tubuh yang kurang sehat. Belanda menitipkan
beliau kepada bupati Sumedang Pangeran Aria Suriaatmaja yang digelari pangeran
Makkah. Bupati yang baik hati ini tidak menempatkan Cut Nnyak Dhien di penjara
tetapi di rumah tokoh adat setempat
karena melihat perempuan ini taat
beragama.
Sebagai tahanan politik, Cut Nyak Dhien jarang keluar rumah. Kegiatannya
hanya berzikir dan beribadah kepada Allah SWT. Disamping itu juga ia mengajar
mengaji kepada ibu-ibu dan anak-anak
setempat yang datang mengunjunginya kerumah. Walaupun matanya rabun, beliau masih bisa tetap mengajar karena banyak menghafal al-Qur’an.
Disamping itu, ketika masih aktif
berjuang di hutan belantara. Dia tetap tidak melupakan perannya sebagai ibu
bagi anaknya. Sejak kecil anaknya diajarkan pendidikan agama , sekaligus juga
ditanamkan semangat perjuangan membela tanah air.
Menurutnya pendidikan sangat penting diajarkan sejak dini. Pendidikan harus
mulai dari dalam ayunan, sehingga ia sering meninabobokan anaknya dalam ayunan
sambil menyanyikan: “Dokuda idang - dokuda
idang, Geulayang blang putoh taloe –rayeuk aneuk banta sedang, Jak tulong prang
bela nanggroe, Rayeuk sinyak banta seudang jak prang sabil bela agama.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia: Timang
–timang sianak sayang /Layang-layang putus diatas tanah lapang/Kelak anakku
tumbuh jadi remaja/Meski ikut perang membela negara/Kelak manisku menjadi
dewasa/Terus perang sambil membela agama” {Hastini:1984}.
Perempuan yang mendapat gelar ibu perbu
(ratu) dari masayarakat Sumedang terus berjuang sampai titik darah
penghabisan baik secara lansung
mengangkat senjata dan mengobarkan semangat perjuangan maupun berjuang melawan
kebodohan.
Cut Nyak Dhien Modern
Konflik bersenjata dan bencana tsunami, perekonomian Aceh mengalami pukulan
telak. Dalam kondisi terpuruk itu, kaum perempuan justru tampil sebagai motor kebangkitan.
Mereka aktif mengembangkan berbagai usaha.
Perempuan Aceh memang
mengagumkan. Mereka bukan hanya bekerja keras mengurus rumah tangga. Banyak
kaum perempuan bekerja sebagai pencari nafkah utama. Mereka mencangkul di sawah
atau di ladang.Peran perempuan
akhirnya menjadi sangat dominan dalam banyak rumah tangga di Aceh. Tak bisa dipungkiri,
nyaris seluruh urusan rumah tangga dipegang perempuan.
Perempuan Aceh merupakan ujung
tombak perubahan di berbagai bidang. Saat ini, perempuan berperan besar dalam
perubahan Aceh ke arah yang positif. Bahkan sejak dulu, orang mengagumi sosok
Cut Nyak Dhien, panglima perang Aceh yang gagah berani. Ketegaran perempuan
Aceh itu telah memberi inspirasi perempuan Aceh di zaman modern untuk membangun
Aceh dari keterpurukan.
Hari ini kita menyaksikan hampir semua perempuan Aceh berpendidikan. Sarjana
terus bermunculan setiap tahun. Di setiap bangku pendidikan mulai sekolah dasar
sampai Perguruan Tinggi jumlah perempuan yang belajar selalu lebih tinggi
dibandingkan dengan jumlah laki-laki. Terkecuali ditempat-tempat pendidikan
tertentu yang diperuntukkan khusus untuk laki-laki.
Mareka dengan berbagai keahlian terus berkarya. Ada yang duduk di Legislatif. Jadi eksekutif. Dokter, juru
rawat, pengajar, anggota keamanan, pegiat LSM, penjual, desainer, arsitek,
kontraktor, wartawan, seniman, akuntan, pengacara, pilot dan masih banyak
profesi lainnya yang digeluti para kaum perempuan modern. Hal ini membuktikan bahwa perempuan-perempuan
Aceh semakin sadar akan pentingnya pendidikan.
Ada sebagian kecil perempuan mungkin tidak berpendidikan tinggi dan belum mampu berkarya. Tapi mareka yang sudah
mampu dan mempunyai keahlian tidak
menutup mata. Dengan mengusung nama Lembaga Swadya Masyarakat, mareka terus
memberdayakan kaumnya untuk maju dan
berkarya. Bahkan setelah Tsunami 2004 cukup banyak muncul lembaga-lembaga yang khusus
bergerak dibidang pembedayaan perempuan dan anak-anak. Semisal, MISPI,
Solidaritas Perempuan, Flower Aceh, Fatayat NU, Serikat Inong Aceh, Matahari,
dan masih banyak nama lainnya.
Pemerintah Aceh juga melakukan pemberdayaan dan pembinaan perempuan dengan sungguh-sungguh, hal ini dibuktikan
dengan pembentukan badan khusus yang menangani bidang pemberdayaan perempuan
dan anak-anak. Badan ini sebelumnya
hanyalah sebuah bagian (biro) di kantor Sekretariat Daerah Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam. Dan nilai plusnya lagi, lansung ditangani oleh seorang
perempuan sebagai kepala badan. Jika yang menangani tentang perempuan itu orang
perempuan sendiri, tentunya besar
kemungkinan lebih tepat sasaran. Walaupun tak tertutup kemungkinan lelaki akan
berbuat hal yang sama tatapi lebih afdhal perempuan sendiri yang menangani
bidangnya.
Kesungguhan pembinaan yang dilakukan di seluruh Aceh telah menghasilkan
berbagai karya terbaik, khususnya dibidang kerajinan tangan. Perempuan –
perempuan kita sudah mampu berdikari. Karya-karya perempuan Aceh sudah dikenal
di tingkat Nasional. Tidak jarang juga mareka diundang keluar negeri untuk
memamerkan hasil karya. Sebagai contoh, di desa Nusa Lhoknga Aceh Besar. Perempuan- perempuan
disana mengolah sampah menjadi tas
tangan, topi, pas bunga dan sebagainya. Bagi sebagian orang sampah
akan tetap menjadi barang tak berharga yang harus dibuang tapi bagi perempuan Nusa sampah disulap
menjadi barang menarik dan berharga.
Kemandirian dan keberhasilan yang sudah mendapat penghargaan terhadap kita
kaum perempuan harus dijaga dan dipertahankan. Jadilah perempuan-perempuan Aceh
tangguh. Cut Nyak Dhien boleh saja telah lama meninggal dunia, perjuangan dan
kepribadiannya akan terus menjadi inspirasi bagi kita. Sekarang kitalah yang
menjadi Cut Nyak Dhien Modern yang disegani dan dihormati oleh semua pihak. Semoga. Wallahu’aklam
bissaawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahka komentar dengan bahasa yang santun